Mata
pelajaran Bahasa Daerah bisa tersisih pada revisi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang sedang dikebut pemerintah saat ini. Pasalnya, pemerintah
akan menetapkan tujuh mata pelajaran yang boleh diajarkan di jenjang Sekolah
Dasar. Yakni, Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa
Indonesia, Matematika, Pendidikan Jasmani atau Olahraga, Pendidikan Seni, Ilmu
Pengetahuan (masih rencana dari gabungan IPA dan IPS).
Hal
tersebut ramai diperbincangkan oleh Forum Guru di jejaring sosial Facebook. Bukankah di Sekolah Dasar Bahasa Daerah tak bisa lepas dari mata pelajaran yang lain. Ibarat dua sisi mata uang
yang tak bisa dipisahkan. Mengapa? Bahasa daerah bisa dipakai sebagai bahasa pengantar
untuk mata pelajaran lain. Ketika siswa kesulitan memahami Bahasa Indonesia
karena keterbatasan kosa kata, guru menggunakan bahasa daerah untuk membantu
menjelaskan materi yang sulit dipahami siswa. Sehingga disamping memperoleh
pengetahuan umum, anak juga dilatih terampil dengan bahasa etniknya.
Jika
sejak dini dilatih lebih banyak menggunakan Bahasa Daerah. Maka, pada diri anak
akan melekat kebiasaan yang baik dalam mensikapi bahasa daerahnya. Anak akan
tetap pede atau percaya diri berbahasa
daerah di komunitasnya tanpa mengabaikan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan untuk berkomunikasi dengan orang dari lain daerah.
Kini
tantangan terberat kaum pendidik yakni melestarikan Bahasa Daerah yang makin
ditinggalkan kaum muda. Muncul fenomena anak usia SMP dan SMA sudah mulai
enggan memakai bahasa daerah. Salah satu alasan keengganan itu karena minimnya
pelajaran tentang bahasa daerah. Buku tidak ada, dukungan lingkungan juga
kurang. Apakah ini bukan permasalahan? Apabila dibiarkan sangat mungkin 700-an
bahasa daerah kita suatu saat akan punah. Untuk itu kita berharap pemerintah
tetap mempertimbangkan Bahasa Daerah dalam revisi kurikulum tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar