Rencana
pemerintah pusat yang akan menghapus mata pelajaran Bahasa Inggris dari
kurikulum pendidikan sekolah dasar (SD) merupakan sebuah kebijakan yang tepat. Manakala
dalam rangka menggiatkan pembudayaan Bahasa Indonesia mulai dari SD. Pasalnya,
Bahasa Indonesia saat ini perlu mendapat porsi yang lebih kuat. Baik penguatan dari
aspek keterampilan berbahasa maupun dari segi penguatan fungsinya.
Ada beberapa keadaan yang memperlemah pembelajaran Bahasa Indonesia. Dalam struktur kurikulum SD/MI alokasi waktu untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia berkisar lima jam pelajaran dalam satu minggu. Hal ini tentu rawan terjadi ketidakefektifan dalam praktek pembelajarannya. Alokasi waktu tersebut bisa terpotong oleh ketidakhadiran guru dengan alasan di luar tugas utama. Sehingga terpotongnya waktu tersebut akan berdampak pada terganggunya pencapaian kompetensi kebahasaaan yang telah ditetapkan pada kurikulum.
Ada beberapa keadaan yang memperlemah pembelajaran Bahasa Indonesia. Dalam struktur kurikulum SD/MI alokasi waktu untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia berkisar lima jam pelajaran dalam satu minggu. Hal ini tentu rawan terjadi ketidakefektifan dalam praktek pembelajarannya. Alokasi waktu tersebut bisa terpotong oleh ketidakhadiran guru dengan alasan di luar tugas utama. Sehingga terpotongnya waktu tersebut akan berdampak pada terganggunya pencapaian kompetensi kebahasaaan yang telah ditetapkan pada kurikulum.
Kompetensi
kebahasaan tersebut berupa aspek keterampilan berbahasa. Yakni menyimak,
berbicara, membaca,
dan menulis. Keempat aspek tersebut merupakan skill kebahasaan yang harus dikuasai oleh peserta didik guna
berkomunikasi yang efektif dalam kehidupan sehari-hari. Namun, nyatanya belum
ada keempat aspek tersebut yang berhasil ditonjolkan oleh anak didik kita
setelah lulus dari SD. Keempat-empatnya hanya berujung pada pemenuhan target
kelulusan. Artinya, materi aspek kebahasaan tersebut mulai dari kelas 1 s.d
kelas 6 hanya dimatangkan untuk menghadapi ujian nasional. Belum sampai pada
ketepatan penggunaan dalam keseharian. Sehingga siswa belum bisa mempergunakan Bahasa
Indonesia dalam bentuk komunikasi lisan dan tulis yang beretika secara efektif dan efisien.
Ketidaktepatan
penggunaan Bahasa Indonesia di dalam satu bentuk komunikasi seringkali diikuti
oleh kesalahan yang bersifat substantif. Ketika dalam komunikasi tidak terjadi
pengertian yang setara antara pihak penyampai pesan dengan penerima pesan, maka
tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan kesalahan penafsiran yang berakibat
hilangnya makna bahasa yang dimaksudkan dalam komunikasi tersebut. Sehingga proses
komunikasi tersebut akan melahirkan miss komunikasi. Yakni, terjadinya
kesalahan tafsir dalam proses komunikasi. Lebih jauh akibatnya bisa berujung
terjadinya konflik.
Kita
tahu banyak sekali kasus konflik yang diawali dengan kesalahan komunikasi. Salah
satunya tawuran pelajar. Tawuran pelajar kerap diawali oleh seorang pelajar yang
tengah bercanda dengan anak sekolah lain. Tetapi candaannya tersebut ditangkap
dengan maksud lain oleh anak sekolah lain tersebut. Sehingga, memicu adu mulut yang berujung dengan tawuran.
Untuk
itulah, perlu kiranya momentum penghapusan Bahasa Inggris dari kurikulum SD ini
sebagai langkah untuk merevitalisasi fungsi kebahasaan dari tingkat dasar.
Pengefektivan
Pembelajaran
Pada
hakikatnya belajar bahasa adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu,
pembelajaran bahasa harus diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi.
Baik itu komunikasi lisan maupun tulis. Sehingga jika ingin menghasilkan lulusan
siswa yang mampu berkomunikasi yang beretika, maka diperlukan pembelajaran yang
efektif. Pembelajaran Bahasa Indonesia
SD yang bisa memberikan pengalaman baru dan membentuk kompetensi peserta didik,
serta mampu mengantarkan mereka ke tujuan yang ingin dicapai secara optimal.
Untuk mengefektifkan pembelajaran
bahasa sekiranya ada dua alternatif pilihan. Pertama, pembelajaran
Bahasa Indonesia dengan
pendekatan komunikatif.
Artinya, pembelajaran bahasa lebih ditekankan pada kemampuan berkomunikasi baik
lisan maupun tertulis. Ini berarti, bahasa ditempatkan pada fungsi komunikatif
yaitu bahasa sebagai sarana berkomunikasi. Tujuaanya adalah membentuk
komunikatif siswa. Diharapkan siswa mampu menguasai kemampuan berkomunikasi,
yaitu kemampuan menggunakan bentuk-bentuk tuturan sesuai dengan fungsi-fungsi
bahasa dalam proses pemahaman maupun penggunaan.
Pembelajarannya
berorientasi penuh pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi antar sesama. Sehingga
aktivitas pembelajarannya mengarah pada aktifitas komunikasi yang riil. Siswa dibimbing ke dalam tuturan
bahasa sesuai dengan siapa, kapan, dan bagaimana bertutur.
Dengan
begitu, siswa akan terlatih menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sesuai
dengan tempatnya. Mereka bisa dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Sebab
siswa bisa memilih kata-kata yang akan digunakan bergantung pada situasi dan
kondisi yang dihadapi. Sehingga bahasa siswa mampu mengantarkan pada sistem
komunikasi yang baik diantara sesama.
Kedua, mencoba menggunakan Sistem Kredit Semester (SKS). Artinya,
setiap aspek kebahasaan dibuat berjenjang sesuai dengan tingkatan kompetensi
yang terendah sampai pada kompetensi yang tertinggi, kemudian siswa diberi
kebebasan untuk mengambil materi sesuai dengan beban belajar per semester.
Penerapan
SKS diharapkan bisa mengakomodasi potensi peserta didik. Sebab tak semua aspek
bahasa mampu dikuasainya dengan baik. Ini berarti SKS akan memberikan peluang
pada siswa untuk menekuni salah satu aspek keterampilan berbahasa. Yang
kemudian ditonjolkan dengan prestasi yang dimunculkan di luar sekolah. Contoh,
si A dapat menguasai kemampuan menulis. Maka si A perlu didorong untuk
berprestasi melalui karya tulis. Prestasi menulis artikel di koran, misalnya. Dengan
demikian, adanya SKS bisa melejitkan potensi kebahasaan siswa.
SKS
juga dipandang lebih mendewasakan siswa dan menekankan pada potensi kebahasaan
yang dimiliki siswa. Sistem SKS bisa mendorong tanggung jawab belajar
dikembalikan pada siswa. Sehingga akan menyadarkan siswa pada kebutuhan untuk
apa ia belajar, mengapa harus mempelajarinya, dan manfaat apa yang akan
diperoleh.
Akhirnya,
penerapan pendekatan komunikatif dan SKS diharapkan akan mampu merevitalisasi
bahasa sebagai alat komunikasi dan penggunaan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan intelektual.
Setuju,, jangan hanya bahasa inggris saja, tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu pertiwi harus selalu dilestarikan di jaman globalisasi ini
BalasHapus