Halaman

Minggu, 25 November 2012

Revitalisasi Bahasa Indonesia di SD


Rencana pemerintah pusat yang akan menghapus mata pelajaran Bahasa Inggris dari kurikulum pendidikan sekolah dasar (SD) merupakan sebuah kebijakan yang tepat. Manakala dalam rangka menggiatkan pembudayaan Bahasa Indonesia mulai dari SD. Pasalnya, Bahasa Indonesia saat ini perlu mendapat porsi yang lebih kuat. Baik penguatan dari aspek keterampilan berbahasa maupun dari segi penguatan fungsinya.

Ada beberapa keadaan yang memperlemah pembelajaran Bahasa Indonesia. Dalam struktur kurikulum SD/MI alokasi waktu untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia berkisar lima jam pelajaran dalam satu minggu. Hal ini tentu rawan terjadi ketidakefektifan dalam praktek pembelajarannya. Alokasi waktu tersebut bisa terpotong oleh ketidakhadiran guru dengan alasan di luar tugas utama. Sehingga terpotongnya waktu tersebut akan berdampak pada terganggunya pencapaian kompetensi kebahasaaan yang telah ditetapkan pada kurikulum.
Kompetensi kebahasaan tersebut berupa aspek keterampilan berbahasa. Yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut merupakan skill kebahasaan yang harus dikuasai oleh peserta didik guna berkomunikasi yang efektif dalam kehidupan sehari-hari. Namun, nyatanya belum ada keempat aspek tersebut yang berhasil ditonjolkan oleh anak didik kita setelah lulus dari SD. Keempat-empatnya hanya berujung pada pemenuhan target kelulusan. Artinya, materi aspek kebahasaan tersebut mulai dari kelas 1 s.d kelas 6 hanya dimatangkan untuk menghadapi ujian nasional. Belum sampai pada ketepatan penggunaan dalam keseharian. Sehingga siswa belum bisa mempergunakan Bahasa Indonesia dalam bentuk komunikasi lisan dan tulis yang beretika secara efektif dan efisien.
Ketidaktepatan penggunaan Bahasa Indonesia di dalam satu bentuk komunikasi seringkali diikuti oleh kesalahan yang bersifat substantif. Ketika dalam komunikasi tidak terjadi pengertian yang setara antara pihak penyampai pesan dengan penerima pesan, maka tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan kesalahan penafsiran yang berakibat hilangnya makna bahasa yang dimaksudkan dalam komunikasi tersebut. Sehingga proses komunikasi tersebut akan melahirkan miss komunikasi. Yakni, terjadinya kesalahan tafsir dalam proses komunikasi. Lebih jauh akibatnya bisa berujung terjadinya konflik.
Kita tahu banyak sekali kasus konflik yang diawali dengan kesalahan komunikasi. Salah satunya tawuran pelajar. Tawuran pelajar kerap diawali oleh seorang pelajar yang tengah bercanda dengan anak sekolah lain. Tetapi candaannya tersebut ditangkap dengan maksud lain oleh anak sekolah lain tersebut. Sehingga, memicu adu mulut yang berujung dengan tawuran.
Untuk itulah, perlu kiranya momentum penghapusan Bahasa Inggris dari kurikulum SD ini sebagai langkah untuk merevitalisasi fungsi kebahasaan dari tingkat dasar.

Pengefektivan Pembelajaran
Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa harus diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi. Baik itu komunikasi lisan maupun tulis. Sehingga jika ingin menghasilkan lulusan siswa yang mampu berkomunikasi yang beretika, maka diperlukan pembelajaran yang efektif.  Pembelajaran Bahasa Indonesia SD yang bisa memberikan pengalaman baru dan membentuk kompetensi peserta didik, serta mampu mengantarkan mereka ke tujuan yang ingin dicapai secara optimal.
Untuk mengefektifkan pembelajaran bahasa sekiranya ada dua alternatif pilihan. Pertama, pembelajaran Bahasa Indonesia dengan pendekatan komunikatif. Artinya, pembelajaran bahasa lebih ditekankan pada kemampuan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis. Ini berarti, bahasa ditempatkan pada fungsi komunikatif yaitu bahasa sebagai sarana berkomunikasi. Tujuaanya adalah membentuk komunikatif siswa. Diharapkan siswa mampu menguasai kemampuan berkomunikasi, yaitu kemampuan menggunakan bentuk-bentuk tuturan sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa dalam proses pemahaman maupun penggunaan.
Pembelajarannya berorientasi penuh pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi antar sesama. Sehingga aktivitas pembelajarannya mengarah pada aktifitas komunikasi yang riil. Siswa dibimbing ke dalam tuturan bahasa sesuai dengan siapa, kapan, dan bagaimana bertutur.
Dengan begitu, siswa akan terlatih menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sesuai dengan tempatnya. Mereka bisa dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Sebab siswa bisa memilih kata-kata yang akan digunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi. Sehingga bahasa siswa mampu mengantarkan pada sistem komunikasi yang baik diantara sesama.
Kedua, mencoba menggunakan Sistem Kredit Semester (SKS). Artinya, setiap aspek kebahasaan dibuat berjenjang sesuai dengan tingkatan kompetensi yang terendah sampai pada kompetensi yang tertinggi, kemudian siswa diberi kebebasan untuk mengambil materi sesuai dengan beban belajar per semester.
Penerapan SKS diharapkan bisa mengakomodasi potensi peserta didik. Sebab tak semua aspek bahasa mampu dikuasainya dengan baik. Ini berarti SKS akan memberikan peluang pada siswa untuk menekuni salah satu aspek keterampilan berbahasa. Yang kemudian ditonjolkan dengan prestasi yang dimunculkan di luar sekolah. Contoh, si A dapat menguasai kemampuan menulis. Maka si A perlu didorong untuk berprestasi melalui karya tulis. Prestasi menulis artikel di koran, misalnya. Dengan demikian, adanya SKS bisa melejitkan potensi kebahasaan siswa.
SKS juga dipandang lebih mendewasakan siswa dan menekankan pada potensi kebahasaan yang dimiliki siswa. Sistem SKS bisa mendorong tanggung jawab belajar dikembalikan pada siswa. Sehingga akan menyadarkan siswa pada kebutuhan untuk apa ia belajar, mengapa harus mempelajarinya, dan manfaat apa yang akan diperoleh.
Akhirnya, penerapan pendekatan komunikatif dan SKS diharapkan akan mampu merevitalisasi bahasa sebagai alat komunikasi dan penggunaan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual.

1 komentar:

  1. Setuju,, jangan hanya bahasa inggris saja, tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu pertiwi harus selalu dilestarikan di jaman globalisasi ini

    BalasHapus