Sesuai
namanya, Jaran Kepang artinya kuda-kudaan dari kepangan bambu. Dalam pertunjukkan
penari bakal terus menunggang kuda tersebut dan bertingkah seolah-olah si jaran
kepang hidup. Awalnya semua menari teratur dan bergoyang seperti kuda
mengikuti ritme musik. Setelah beberapa saat, mendadak penari kesurupan
dan mulai seperti kerasukan kuda. Mereka berlari, melompat, dan berperilaku
sama dengan kuda. Begitulah singkat cerita kesenian ini.
Sekarang
kesenian jaran kepang tak nampak rupa sebagai hiburan rakyat lagi. Dengar-dengar
banyak grup kesenian jaran kepang terpaksa bubar. Ya mau gimana lagi, wong tidak ada yang mau nanggap kesenian
ini. Dan tongkat estafet itu kemudian di pegang pengamen jalanan. Mereka yang
masih cinta dengan kesenian ini kerap memainkan jaran kepang sebagai lahan
mencari uang. Tak jarang aksinya ini hanya bisa memperoleh imbalan uang recehan.
Siapa yang mau peduli “pengamen”. Sungguh tragis nasib keduanya. Jaran kepang dan pengamen jalanan.
Saya
sendiri berpendapat bahwa pengamen tersebut pantas disebut pahlawan. Mengapa?
Mereka telah memperjuangkan kesenian khas asli Indonesia yang terseok-seok
mencari penghidupan di negerinya sendiri. Karena seharusnya kesenian tersebut
muncul dan tercipta sebab kerinduan akan penghiburan dari warga masyarakat,
bukan untuk mencari uang. Coba kita merenung sejenak. Mengapa Malaysia berkali-kali
mengakui budaya kita sebagai budayanya? Itu akibat kita lalai merawat budaya
sendiri. Masih untung ada pengamen yang bersedia merawat dan terus membangun
memori kolektif akan kesenian tersebut. Patutnya kita berterima kasih kepada
mereka.
Saya
juga berharap pemerintah mau turun tangan dalam hal ini. Setidaknya ada penghargaan
kepada pengamen jalanan tersebut. Itu harga yang pantas mereka dapatkan karena
telah mendedikasikan seni sebagai jalan hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar